The stress lawyer

Sebagaimana dalam berbagai tulisan ku, Semarang selalu ku tempatkan sebagai kampung halaman ku yang kedua. Aku mencintai dan merindukan Kota Semarang, sebagaimana aku mencintai dan merindukan kota kelahiran ku Tarutung.

Hampir 18 tahun yang lalu, tak terasa waktu telah berjalan sejauh itu. Pertama kali aku menginjakkan kaki di Semarang, kota yang sesungguhnya dalam berbagai aspek tidak cocok dengan ku, khusus nya cuaca dan makanannya. Aku yang menghabiskan masa remaja ku di daerah sejuk khas pegunungan, tiba-tiba pindah ke kota pinggir laut, yang panas nya bikin geleng-geleng kepala. Sama hal nya dengan makanannya nya, yang terasa manis di lidah Sumatera ku.

Semarang adalah kota pertama yang ku tinggali setelah aku merantau. Empat tahun yang panjang ku lalui di sana sambil menuntaskan studi Sarjana ku. Aku selalu mengatakan bahwa yang mendorong ku untuk ke Semarang, secara tidak langsung adalah penulis idola ku, NH Dini. Buku seri kenangannya begitu membekas dan menancapkan sebuah rasa penasaran tentang kota Semarang. Meskipun yang digambarkan oleh NH Dini dalam buku nya, telah jauh berbeda dengan kondisi pada tahun 2007 saat pertama kali aku tiba di sana. Namun Pasar Johar dan Toko Oen serta tradisi Dugder nya masih seperti yang diceritakan di dalam buku.

Setelah menamatkan kuliah, aku hijrah ke Jakarta. Walaupun awalnya sempat berpikir untuk berkarir di Semarang, dan membangun kehidupan di sana, namun hal itu urung aku lakukan karena satu hal. Namun setelah itu, aku masih sering mengunjungi Semarang. Tapi sejak pandemi Covid-19 sudah 6 tahun aku tak “pulang kampung” ke Semarang.

Jika kau tanya, apa yang membuat ku begitu merindukan Semarang? Aku pun sulit menjawab nya, karena tak ada tempat spesial yang begitu memorable. Selain itu teman-teman ku pun sudah tidak di sana lagi. Mungkin seperti orang yang jatuh cinta, katanya cinta pertama akan sulit untuk di lupakan, maka Semarang adalah cinta pertama ku.