Ketika beberapa restoran mulai menerapkan sistem self service dan membersihkan meja makan sendiri, tak sedikit orang yang keberatan dengan hal ini dan berdalih bahwa kita sudah bayar dan sudah selayak nya kita dilayani. Argumentasi itu tak sepenuh nya salah, tapi tak sepenuh nya benar juga. Untuk restoran yg membebankan service charge atau biaya layanan, maka kita berhak mendapatkan layanan semacam itu.
Tapi saya tidak sedang membahas pro dan kontra penerapan self service ini. Sejak dulu saya dilatih orang tua saya untuk membereskan peralatan makan setelah selesai makan. Pesan lain dari orang tua saya, jika makan di rumah orang lain, cuci lah peralatan makan mu dan piring kotor yang ada di sana.
Jadi sejak kecil saya kurang nyaman makan di meja makan yg berantakan. Saya juga termasuk orang yg paling senang ngobrol di meja makan setelah proses santap menyantap selesai. Jadi begitu selesai makan biasa nya saya akan menyusun peralatan makan dengan rapih dan saya singkirkan ke ujung meja atau ke tempat yg disediakan untuk itu. Sebenar nya ini saya lakukan untuk diri sendiri, namun secara tak langsung tentu kebiasaan ini sangat membantu pramusaji jika saya makan di warung atau restoran.
Tak jarang teman-teman saya berguyon ketika melihat saya menyusun piring, tapak, kobokan dan gelas minum dalam satu tumpukan, “naluri pembantu nya keluar“. Saya tak masalah, karena saya nyaman melakukan itu.
Jadi ketika saya makan di tempat dengan sistem self service saya tak keberatan membereskan sendiri peralatan makan saya. Hanya sangat disayangkan sebetulnya tak jarang kita temukan restoran self service justru tempat sampah nya penuh dengan sampah, tidak segera dibuang.
Suatu saat, kebiasaan ini akan saya tularkan ke anak-anak saya, karena ini pun adalah ajaran dari orang tua saya. Salah satu nasehat almarhum bapak saya yg selalu saya ingat adalah:
“Pasomal-somal ma dirim tu hadaulaton” (Biasakan diri mu melakukan sesuatu yang pantas)
Leave a Reply