Selain Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan Indonesia yang karyanya sangat saya puja adalah NH Dini, atau yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin.
Perkenalan pertama ku dengan karya-karyanya sudah cukup lama, sejak usia saya masih sangat beliau. Karya pertamanya yang saya baca adalah potong novel yang berjudul “Langit dan Bumi Sahabat Kami”, yang saya baca dari buku pelajaran SMA milik saudara ku. Kemudian saat duduk di kelas 4 SD sekitar tahun 1998, saya menemukan sebuah buku yang berjudul “Sebuah Lorong di Kota ku” saat saya membantu pindahan ruangan guru di sekolah ku. Saat itu saya begitu menikmati kata demi kata dalam buku tersebut. Saya seolah-olah masuk di dalam masa kecil NH Dini yang digambarkan begitu apik di dalam buku nya. Itu lah perkenalan pertama ku dengan karya beliau, dan sejak itu nama NH Dini seolah-olah terpatri di ingatan ku.
Tahun 2005, saat itu saya sudah duduk di bangku kelas XI SMA. Saat mendapatkan tugas me-resensi sebuah novel, saya menemukan buku NH Dini yang berjudul “Pada Sebuah Kapal” dan buku yang berjudul “La Barka” di perpustakaan daerah Tapanuli Utara. Akhirnya aku membaca kedua buku tersebut dan memutuskan untuk meresensi buku yang berjudul “La Barka”. Sejak saat itu saya memutuskan untuk mencari dan membaca seluruh buku-buku yang ditulis NH Dini, dan buku yang paling ingin saya baca adalah tetralogi seri Kenangan yang terdiri dari “Sebuah Lorong di Kota ku”, “Padang Ilalang di Belakang Rumah”, “Langit dan Bumi Sahabat Kami” dan “Sekayu”.
Tahun 2007 aku kuliah di Semarang. Ya Semarang, kota kelahiran sang penulis pujaan. Tempat-tempat seperti Stasiun Poncol, Pasar Johar, Gunung Pati, Ungaran, Toko es krim Oen dan lainnya, begitu akrab, karena tempat-tempat tersebut beberapa kali disebutkan di buku-buku yang ditulis NH Dini. Saat itu saya punya kebiasaan, dalam setiap kesempatan saya akan berkunjung ke Gramedia Pandanaran dan mencari buku-buku NH Dini. Di sanalah saya menyelesaikan membaca buku “Padang Ilalang di Belakang Rumah” dan buku “Langit dan Bumi Sahabat Kami”. Namun karena keterbatasan uang pada saat itu, saya tidak bisa membeli buku-buku tersebut.
Setelah saya lulus kuliah dan bekerja, saya memiliki penghasilan sendiri. Saya mencoba untuk membeli dan mengoleksi buku-buku NH Dini. Sayangnya buku-buku nya sudah tidak dapat lagi ditemukan di rak-rak toko buku. Saya hanya berhasil menemukan “Padang Ilalang di Belakang Rumah”, “Langit dan Bumi Sahabat Kami” di Toko Buku Gunung Agung Kwitang. Kemudian buku “La Barka” aku beli di Gramedia Matraman, sisanya seperti “Sebuah Lorong di Kota ku”, “Sekayu”, “Pertemuan Dua Hati”, “Jepun Negeri Hiroko” aku dapatkan di situs jual beli online dan itu pun buku bekas, namun sayangnya buku “Pertemuan Dua Hati”, “La Barka” dan “Jepun Negeri Hiroko” tercecer saat saya pindahan.
Bagi ku gaya penulisan NH Dini cukup sederhana sehingga tidak terlalu sulit untuk memahami setiap kata-katanya. Dapat dilihat bagaimana saya di usia 9 tahun dapat menyukai buku nya dan bisa menangkap apa yang ingin disampaikan. Sayang nya mungkin banyak generasi muda saat ini yang tidak mengetahui karya-karyanya. Namanya kembali mencuat belakangan ini berkat anaknya Pierre Coffin yang merupakan salah satu pencipta karakter Minion. Beliau menghabiskan masa tuanya, di keheningan kaki gunung Ungaran yang sejuk dengan membangun sebuah pondok baca, yang hingga sekarang belum sempat saya kunjungi.
Tanggal 4 Desember 2018, akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhirnya di RS St Elisabeth Semarang, setelah mengalami kecelakaan di toll Tembalang. Sang maestro telah pergi dalam diam. Tentu para penikmat sastra khususnya buku-buku beliau merasa kehilangan. Namun seorang penulis tak akan pernah dilupakan oleh sejarah. Namanya akan abadi bersama dengan karya-karyanya. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Tubuh seorang penulis boleh berubah menjadi debu tanah, atau hilang terlahap api kremasi, namun namanya tak akan hilang selama manusia masih membaca. NH Dini tak akan pernah hilang. Kelak saya akan mengenang beliau dalam setiap pengembaraan ku di tempat-tempat dan negeri yang pernah ditulisnya. Ketika nanti aku kembali ke Semarang, aku akan mengenang beliau di setiap sudut dan lorong-lorong kota Semarang.
Leave a Reply