CARA MUDAH MELULUHKAN ORANG BATAK

OLEH : SUHUNAN SITUMORANG

MENGAPA reaksi atas isu pemberian gelar ‘Raja Batak’ dan juga marga pada Presiden SBY sedemikian keras? Kenapa penggagas Museum Batak, Tiopan Bernard Silalahi (TBS), yang disebut-sebut merekayasa pemberian gelar mendapat kecaman keras hingga seolah menafikan yang sudah dia perbuat untuk Tano Batak, terutama Balige? (Mendirikan SMA unggulan Yayasan Sopo Surung, membangun hotel, TB Center dan museum). Apakah betul reaksi yang menentang berasal dari dendam, dengki, tidak tahu berterimakasih? Apakah sedemikian kejam orang-orang Batak sekarang hingga perbuatan mulia TBS (kita asumsikan saja dulu begitu) harus dikecam keras?

Pertanyaan-pertanyaan di atas terus berseliweran di benak saya, lalu coba menemukan jawaban, kendati terbuka sekali untuk dikoreksi.  Baiklah kita mulai dengan memahami sistem sosial sosial dan kekuasaan masyarakat adat Batak sejak munculnya marga-marga. Dalam sejarahnya, di Tano Batak, memang tak ada kerajaan (kingdom) atau kesultanan yang pernah menguasai seluruh marga hingga menciptakan budaya dan hubungan antara raja dengan kawula (rakyat). Tak  ada yang dipertuan, tak ada yang diperhamba.  Masing-masing marga, kendati punya ikatan dengan induk marga dan marga lain, memiliki otonomi dengan wilayah dan kekuasaan sendiri. Dalam internal marga (atau sub-marga) pun tak dikenal kerajaan dan hegemoni yang bersifat monarkhi atau dinasti. Yang ada ahnya namarharajaon karena memiliki kekuatan, wibawa, kepemimpinan, kekayaan, kesaktian, atau kekuatan-kekuatan yang bersifat supranatural.

Orang-orang yang memiliki hal-hal di ataslah yang kemudian jadi menonjol dan dominan atas suatu wilayah (huta), termasuk karena ekspansi (mambungka harajaon). Sekadar contoh, leluhur dan orangtua penyair Sitor Situmorang (Ompu Babiat Situmorang Suhut Nihuta), semula berasal dari wilayah Palipi-Urat, Pulau Samosir, namun kemudian menguasai Lintong, Tele,  Harianboho, bahkan sebagian wilayah Dairi, karena wibawa dan kesaktian. (Banyak yang mengakui, kendati sulit dicerna akal sehat, bahkan oleh Sitor sendiri). Marga dan sub-marga lain pun banyak seperti itu, menguasai suatu wilayah karena ekspansi dan penaklukan.

Yang pasti, masing-masing marga dan sub-marga punya otonomi yang tidak bisa dikooptasi marga lain. Yang bisa terjadi adalah penguasaan terhadap indiviu-individu, diparhatoban, bahkan dahulu kala diperjual-belikannamun bukan penguasaan atas suatu marga atau sub-marga.

Otonomi marga dan keinginan untuk menjaga harkat ini pula yang banyak mendorong perpindahan orang-orang yang tertekan atau tertawan ke wilayah lain. Di wilayah baru, akan mereka usahakan pula menegakkan harajaon dengan cara membuka kampung dan perlahan-lahan menguasai sumber-sumber nafkah.  Kecuali bagi yang akhirnya kompromi atau menyerah agar mudah diterima warga asli, orang Batak yang melakukan migrasi ke luat sileban (wilayah asing) akan mati-matian mempertahankan tradisi dan cara pandang atas kehidupan, termasuk sistem dan aturan peradatan,  serta konsep harajaon.

Pendeknya, otonomi, kemerdekaan, harkat, menjadi sesuatu yang diagungkan dan karenanya harus dipertahankan. Boleh jadi, itu yang membuat mengapa orang kuat nan sakti yang pernah ada di Tano Batak, sulit mengklaim diri sebagai raja atas seluruh marga dan huta di seantero Tano Batak. Bahkan dinasti Sisingamangaradja (Sinambela) pun dikatakan punya tandingan kuat di Samosir (Gorat) dari keturunan Palti Raja (Sinaga).

Kuat pula dugaan, beratnya upaya menaklukan suatu wilayah dan marga yang kemudian membentuk lahirnya lembaga Bius, yakni kekuasaan kolektif beberapa marga yang mengedepankan musyawarah. Gagasan tersebut sangat mungkin berasal dari kesadaran yang tinggi pada realitas bahwa ketimbang bertempur terus yang menghabiskan harta dan keturunan, lebih baik berdamai dengan cara menghormati dan mengakui otoritas marga lain.

Kearifan tersebut lalu menjadi nilai-nilai anutan dan juga norma-norma yang diperkuat hubungan adat berdasarkan aturan yang kini disebut Dalihan Natolu. Agar  dihormati, harus siap menghormati; agar diakui, harus mau mangakui yang lain. Untuk menguatkan konvensi tersebut, dibuatlah uhum dan ugari, juga poda untuk menjaga tata-krama dan tingkah pribadi.  Intinya, ada kesetaraan, pengakuan, penghormatan. Bila di situ mengaku raja, maka di sini pun raja.  Pengakuan atas ‘sama-sama raja’ inilah yang kemudian bergeser ke dalam bentuk tuntutan perilaku, sikap, cara bicara. Anakni raja, bukan dalam pengertian kuasa yang bisa diwariskan, melainkan menyangkut perangai dan perbuatan seseorang.

Kentalnya doktrin ‘sama-sama raja’ dan penekanan egaliter itu, dalam perkembangan, membuat orang Batak begitu sensitif menyangkut harga diri, yang kadang disalahpahami hingga terkesan berlebihan dan lari dari makna hakiki. Sesungguhnya, itu berasal dari kuatnya penekanan pada hak dan kewajiban adat, tata krama, yang lazim disertai perbuatan sebagai bentuk penghormatan, termasuk pemberian jambar (hak untuk mendapat sesuatu, termasuk bicara).

Pemahaman atas hal-hal di ataslah saya kira yang perlu dipakai untuk untuk menanggapi reaksi orang-orang dalam kasus pemberian gelar Raja Batak dan marga bagi Presiden SBY, yang ditengarai hanya isu. Dari situ pula bisa kita belajar bahwa ternyata orang Batak yang disebut keras itu begitu mengagungkan tata krama ala Batak dan akan lunak bila mau menundukkan kepala.  Bila itu diabaikan, seperti apapun yang sudah dilakukan dan akan dilakukan seseorang—meski dikatakan untuk kepentingan orang banyak—bisa  ditiadakan.

Barangkali, sifat tersebut bisa dipelajari dari arsitektur rumah adat Batak yang untuk masuk ke dalam harus menundukkan kepala, yang bila dipaksa tegak akan membentur ruma adat, namun  setelah pintu dibuka akan terlihat ruang lowong tanpa sekat, hampir tak ada rahasia yang disimpan tuan rumah.  Menghormati pihak lain, merendah, terbuka, tak mengada-ada melebihi yang diakui masyarakat adat, saya kira hanya itu cara termudah untuk meluluhkan orang Batak.  Tak begitu susah, kan?***

 

* Dimuat di Batakpos, Sabtu 22 Januari 2011

About the Author

The Stress Lawyer

The Stress Lawyer adalah plesetan dari Buku nya John Grisham yang berjudul “The Street Lawyer”. Author merupakan Lawyer yang memulai karir nya sebagai pengacara bantuan hukum. Blog ini berisi tulisan suka-suka atas isu-isu terkini, sastra dan filsafat yang disajikan dalam bahasa yang renyah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *