Apa yang ada dibenak mu jika engkau punya seorang anak bayi, yang dirawat serta diasuh oleh seorang perempuan tua dan gila? Mungkin engkau tak akan percaya, namun aku akan menceritakan sebuah cerita tentang seorang wanita tua gila, yang dahulu pernah merawat ku.
***
Di kampung ku, pernah hidup seorang wanita tua yang menderita kegilaan. Kata orang-orang, dulunya dia seorang perawat pribadi presiden Soekarno. Namun tak ada yang tahu kebenarannya, dan itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Dan tentu saja, tak ada pula yang merasa perlu untuk membuktikan kebenarannya.
Dia tinggal sebatang kara di sebuah rumah besar semi permanen yang sudah tidak terawat. Saban hari, rumahnya selalu terlihat kelam dan gelap. Tak ada instalasi listrik yang terpasang di sana.
Di malam-malam tertentu, dia akan bernyanyi dengan bahasa yang tak seorang pun paham. Namun setiap kali suaranya terdengar, seketika itu suasana kampung akan sunyi mencekam. Aku sangat tidak menyukai suasana itu.
Tak sulit untuk mengenalinya. Semua orang tahu, tua maupun muda. Si Petang, itu lah sebutannya. Nama aslinya tak lagi ada yang mengingat. Usianya pun tak ada yang tahu. Yang ku ingat, dia sudah sangat tua, tubuhnya bungkuk ditopang dengan sebatang tongkat tua berwarna hitam. Rambutnya menggumpal membetuk gimbal sebesar kaki orang dewasa, tercampur antara rambut hitam dan putih.
Rambutnya yang gimbal, selalu dikaitkan dengan hal-hal yang mistis. Tak sedikit yang percaya, bahwa rambut gimbalnya adalah hasil karya para makhluk halus. Mereka juga meyakini bahwa di rumah tersebut bersemayam berbagai macam mahkluk halus yang selalu setia menemani si Petang. Bahkan sebagian lagi percaya, jika lagu yang selalu dinyanyikannya adalah semacam mantra yang hanya dia dan teman-teman hantunya yang mengerti. Namun aku tak percaya.
Bagi ku, si Petang bukanlah wanita tua yang gila. Aku memanggilnya kakak, aku tak tahu mengapa, namun orang tua ku menyuruh demikian. Meskipun dari segi usia, aku layak memanggilnya nenek. Tak ada pertalian darah antara keluarga ku dengan dirinya. Tapi semua orang tahu, sejak bayi aku dirawat oleh si Petang. Mungkin sejak aku dilahirkan.
Sangat ganjil memang, namun Si Petang lah yang menjadi pengasuh saat kedua orang tua ku pergi bekerja. Dia memperlakukan ku layaknya cucu yang sangat disayanginya. Pagi hari dia akan datang ke rumah, menggendong ku di pundaknya dan mengajak ku bermain. Tak jarang dia membelikan ku mainan dan setumpuk permen beraneka rasa.
Ada sebuah peristiwa yang tak pernah lekang dari ingatan ku, meskipun sedikit samar. Suatu sore ketika musim menuai padi, saat itu usia ku sekitar 5 tahun, matahari senja tampak tak seperti biasanya. Warnanya merah seperti darah, orang-orang di kampung ku menyebutnya samon. Tiba-tiba si Petang berteriak sambil meneriakkan nama presiden Soekarno dan mengucapkan kata-kata dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Tangannya yang bengkok menuding ke arah matahari yang merah menyala. Belakangan aku baru mengetahui bahwa bahasa yang selalu diucapkannya adalah campuran bahasa Inggris dan Belanda.
Suatu kali, pernah dia bercerita, bahwa dirinya pernah dipaksa untuk mencampurkan racun ke dalam obat presiden Soekarno. Namun dia menolak, hingga orang-orang itu menyiksanya dengan kejam dan memotong beberapa ruas jarinya sebagai peringatan. Aku pun tak paham. Saat itu aku masih begitu polos dan percaya akan semua ceritanya, meskipun aku tak tahu siapa itu presiden Soekarno. Namun kenyataannya, beberapa ruas jari manis dan kelingking tangan kirinya benar-benar terpotong.
***
Bapak adalah salah satu yang paling tahu tentang masa lalu si Petang. Setahu ku, Bapak sangat menghormati dan menyayanginya. Begitu juga dengan si Petang, Bapak ku dianggapnya keponakan, mungkin juga anaknya.
Menurut penuturan Bapak, saat masih muda, si Petang bekerja sebagai perawat di Jakarta. Namun sejak peristiwa G30/S, si Petang pulang ke kampung tanpa diketahui alasannya. Sebenarnya si Petang masih punya beberapa keponakan yang tinggal di Malang Jawa Timur. Tapi aku tak pernah mengenal kerabat-kerabatnya yang lain.
Di awal kepulangannya, tidak ada hal ganjil yang terjadi di dalam dirinya, hidupnya normal dan bergaul dengan orang-orang kampung. Untuk ukuran di kampung, dia termasuk orang yang cukup kaya. Kata Bapak ku pula, bahwa dia sangat dermawan. Tangannya ringan membantu orang lain yang kesusahan.
Sejak kedua orang tuanya meninggal, si Petang mulai bersikap aneh, hingga pada puncaknya, rumah si Petang terbakar dan hampir merenggut nyawa si Petang. Sejak saat itu, si Petang menjadi gila dan suka bernyanyi pada malam-malam tertentu.
Semenjak itu, orang-orang kampung tak lagi memperdulikannya. Bahkan orang-orang yang dulu pernah ditolongnya seolah-olah sudah lupa akan kebaikan si Petang. Tapi Bapak selalu berpesan kepada kami anak-anaknya untuk menghormati dan menyayangi si Petang.
***
Bertahun-tahun telah berlalu. Usia ku memasuki usia remaja. Orang tua ku pindah ke kampung yang lain. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi bertemu dengan si Petang. Berita yang ku dengar, kewarasannya semakin berkurang. Tak lagi mengenali orang dengan baik, dan orang-orang kampung semakin menjauhinya.
Pertemuan dengannya setelah bertahun-tahun, membuat ku sedikit tak percaya. Dia tak lagi seperti yang ada dalam ingatan ku, tubuhnya kini semakin tua, renta dan kotor. Seingat ku, meskipun dia tidak waras, namun yang ku tahu dia selalu menjaga kebersihan tubuhnya. Saban hari tubuhnya selalu beraroma sabun mandi lifeboy.
Dia berjalan ke sana kemari, dibantu dengan tongkatnya yang semakin keropos. Tubuhnya kotor dibungkus dengan pakain berlapis-lapis dengan tingkat kekotoran yang tak dapat aku bayangkan. Tak jarang anak-anak kampung mengganggunya. Melemparinya seperti orang gila pada umumnya. Aku tak dapat menerima perbuatan mereka. Ku halau anak-anak nakal itu.
Sayangnya si Petang tak lagi mengenal wajah ku. Walau aku berusaha menjelaskan siapa diri ku, namun pandangannya menatap ku penuh kecurigaan, tak seperti dulu lagi yang penuh kasih sayang. Perlakuan kasar dan tak pantas yang diterimanya dari orang-orang kampung, membuatnya tak lagi percaya kepada orang lain. Hati ku mencelos melihatnya pergi tanpa memperdulikan ku. Anak kecil yang dulu begitu disayangi dan dimanja olehnya.
***
Semenjak itu aku tak pernah lagi mengunjunginya, hingga aku duduk di bangku SMP. Mungkin pula aku sudah lupa akan keberadaannya.
Hingga suatu hari, di pertengahan tahun 2003. Di akhir musim penghujan, saat orang-orang bersiap menanam padi di sawah. Aku hendak mengunjungi nenek yang masih tinggal di kampung yang lama. Tiba-tiba terdengar suara lonceng gereja dengan tempo yang perlahan dan terputus-putus. Jelas itu lonceng kematian.
Kemudian aku bertemu dengan orang kampung. Si Petang telah meninggal.***
Jakarta, 18 Oktober 2014
Tinggalkan Balasan