Hal pertama yang muncul dibenak masyarakat umum ketika hendak menggunakan jasa pengacara adalah “mahal”. Banyak orang mengurungkan niatnya menggunakan jasa pengacara karena berfikir terlalu jauh mengenai biaya yang hendak di keluarkan. Sehingga tak jarang dari mereka memilih untuk hadir sendiri menyelesaikan perkaranya, yang pada akhirnya berujung pada kebingungan.
Memang harus diakui, penggunaan jasa pengacara dalam penyelesaian suatu perkara bersifat limitatif atau alternatif. Artinya bersifat pilihan, bukan suatu kewajiban, terkecuali terhadap Permohonan Kepailitan yang mengisyaratkan harus menggunakan jasa pengacara. Tetapi di luar itu, tidak ada kewajiban.
Namun benarkah berperkara itu tak perlu menggunakan jasa pengacara? Jelas bagi mereka yang awam hukum, sangat disarankan untuk menggunakan pendampingan pengacara untuk memberikan nasehat hukum yang tepat pada saat menempuh upaya yang dilakukan.
Kembali kepada biaya jasa pengacara. Secara kasat mata, mungkin nilai yang dipatok oleh pengacara dalam memberikan pendampingan hukum tampak cukup besar. Namun kembali lagi, ada harga ada rupa. Walaupun tak selamanya demikian. Bantuan Hukum gratis yang biasa diberikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga tak kalah bagusnya.
DASAR HUKUM BIAYA JASA PENGACARA
Secara aturan maupun standar operasional prosedur (SOP) tidak ada satupun aturan yang menentukan besaran yang harus dipakai oleh seorang pengacara dalam menentukan biaya jasanya. Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 Advokat (UU Advokat) jo. Pasal 1 huruf f Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), menyebutkan:
“Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien”
Kemudian Pasal 21 ayat (1) UU Advokat menyatakan sebagai berikut:
“Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.”
BAGAIMANA CARA MENGHITUNG JASA PENGACARA / LAWYER FEE?
Sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana menentukan besaran dari jasa advokat tersebut, mengingat jasa adalah suatu hal yang tidak ada wujudnya dan dalam UU Advokat maupun KEAI juga tidak ditentukan secara gamblang. Dalam UU Advokat maupun KEAI, hanya menyebutkan bahwa Pengacara dalam menentukan honorarium harus mempertimbangkan kemampuan klien. Hal ini jelas tertuang di dalam ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU Advokat jo. Pasal 4 huruf d KEAI, yang selengkapnya menyatakan sebagai berikut:
“Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.”
Pada prakteknya di lapangan, umumnya pengacara dalam menentukan biaya jasanya menggunakan 2 (dua) metode, yaitu metode lump sum (dihitung persatu perkara) dan hourly basis (dihitung perjam).
Untuk metode pembayaran dengan metode lump sum, umumnya menggunakan persenan. Perhitungan yang paling umum adalah 10% sampai 30%, itu di luar dari operasional perkara. Dan ada pula yang mengenakan biaya kemenangan (success fee), yang pembayarannya dilakukan ketika perkara tersebut berhasil dimenangkan.
Untuk metode hourly basis, biasa seorang pengacara menentukan harga berupa misalnya seorang pengacara dalam menangani perkara dibayar $150/jam atau lebih (bisa juga dikonversi ke rupiah). Nanti time sheet yang telah dikumpulkan oleh si pengacara dalam menyelesaikan perkara tersebut, akan ditotal dan jumlah itulah yang akan ditagihkan kepada si klien.
Namun di atas semua itu, penggunaan jasa pengacara tentunya ditandai penandatanganan offering letter atau fee agreement. Oleh karena itu kembali kepada ketentuan Pasal 1320 BW tentang syarat sah suatu perjanjian, dan masalah apa yang disepakati di sana, tergantung keinginan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 BW (Asas Kebebasan Berkontrak).
Leave a Reply