Yang paling aku ingat dari mamak adalah ulos lusuh warna kelabu yang selalu menutupi rambut di kepalanya. Seingat ku, jarang sekali mamak lepas dari ulos tersebut. Bila aku tertidur di sampingnya, ulos itu akan berubah menjadi selimut yang hangat. Mamak sering kali harus memenun hingga jauh malam. Matanya yang letih berkonsentrasi dengan untaian benang yang melintang ke sana-sini. Hentakan-hentakan alat tenunnya akan memecah keheningan malam itu.
Suatu kali, aku dan abang ku pernah menyembunyikan ulos tersebut. Mamak menghabiskan seharian membongkar seluruh isi rumah kami untuk mencari ulosnya, wajahnya yang letih tampak begitu sedih. Akhirnya aku menyadari bahwa ulos tersebut sungguh sangat berarti bagi mamak. Ulos itu akhirnya aku kembalikan. Air mata mamak menetes, aku merasa sebagai anak paling durhaka di muka bumi ini.
Aku pernah bertanya, kenapa mamak begitu menyayangi ulos tersebut. Semua orang mengakui bahwa mamak adalah penenun terbaik yang ada di kampung kami. Ulos tenunan mamak selalu mendapat harga tertinggi dari para tokke, tapi kenapa mamak lebih mencintai ulos nya yang sudah jelek itu.
Akhirnya aku mengerti, mamak bercerita, bahwa ulos tersebut adalah ulos pertama yang mamak tenun. Wajahnya berseri-seri saat menceritakan itu, sambil matanya menerawang mengingat momen paling membahagiakan dalam hidupnya kala itu. Bisa ku bayangkan betapa bahagianya mamak, untuk pertama kalinya dia berhasil membuat selembar kain ulos. Meski tenunannya tidak begitu indah, bahkan cenderung sangat jelek dibandingkan dengan tenunan mamak yang lainnya. Tapi seperti kata mamak, jika mamak tidak berhasil menenun ulos usang nya itu, mungkin mamak tidak akan pernah bisa menenun ulos untuk selamanya.
Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi bermain-main dengan ulos tersebut. Bahkan aku semakin menyadari betapa pentingnya ulos itu, tidak hanya mamak, tapi untuk ku juga. Apalagi saat kejadian itu. Saat itu, aku dan mamak pergi ke hutan mencari kayu bakar. Mamak sudah mengingatkan ku untuk berhati-hati saat melangkah. Namun aku tak mengindahkannya. Aku berlari ke sana kemari untuk mencari ranting-ranting kering untuk kami kami bawa pulang.
Tanpa aku sadari, di depan terdapat godung yang dibuat oleh pemburu untuk menangkap babi hutan, kala itu babi hutan masih banyak berkeliaran di hutan ini. Aku berlari, dan tiba-tiba kaki ku terperosok ke dalam godung, dan tertusuk sebilah bambu runcing yang sengaja dipasang di dalam godung tersebut. Darah mengalir cukup deras, aku pikir saat itu aku akan mati.
Mamak membalut luka ku dengan ulos kesayangannya dan kemudian menggendongku di atas punggungnya yang semakin bongkok. Perlahan-lahan darah yang mengalir dari dalam luka ku mulai mengering. Sejak itu, ulos tersebut tidak lagi sama seperti dulu. Hampir seluruhnya ternoda oleh bercak-bercak darah ku, tapi aku heran, mamak tetap senang memakai ulos tersebut. Akhirnya aku menyimpulkan bahwa mamak dan ulos itu sudah tidak bisa dipisahkan lagi.
***
Sekarang mamak sudah pergi. Aku menatap wajahnya yang sendu. Tak ada lagi kehidupan yang terpancar di wajahnya. Namun sisa-sisa perjuangannya masih terlukis jelas di setiap guratan keriputnya. Mamak tampak tenang berbaring di petinya yang sempit. Ingin sekali aku membaringkannya di peti marmer yang mewah, namun abang ku melarang. Mamak berpesan, jika dia hanya boleh dikuburkan dengan peti mati dari kayu pinus. Mamak sangat menyukai aroma getah pinus.
Semasa hidup, mamak mempunyai benda-benda yang biasa digunakannya tentu saja selain ulos usangnya itu. Semua benda-benda tersebut sudah dimasukkan ke dalam petinya. Kacamata, sepatu, tas maupun Bibel yang biasa mamak baca, semuanya dimasukkan. Tapi ada satu yang tertinggal. Ulos.
Aku tak melihat ulos legendaris itu di dalam peti. Aku bertanya ke abang ku.
“Dimana ulos mamak?”
“Anggi, mamak berpesan agar ulosnya diberikan kepada mu.”
Aku tahu, bahwa mamak sudah tenang sekarang. Dalam adat Batak mamak sudah dikatakan Saurmatua. Jika mamak sudah Saurmatua, keturunannya tak perlu lagi bersedih. Aku pun berpendapat demikian. Mamak sudah menjalani hidupnya dengan bahagia, lalu apalagi yang perlu kami tangisi?
Peti mamak akan ditutup. Pendeta mengizinkan keluarga untuk melihat mamak untuk yang terakhir kalinya. Hati ku bercampur aduk, antara sedih dan bangga. Aku merindukan mamak saat memandang wajahnya yang sudah kaku namun begitu damai. Kenangan masa kecilku berkelebat silih berganti di dalam kepala.
Mamak telah memberiku kehidupan yang bermakna. Sekarang dia telah mengakhir petualangannya di dunia ini. Aku tahu, kami tidak perlu meratapi kematian mamak, tapi kami sedang merayakan sebuah kemenangan. Mamak sudah memenangkan pertandingan hidupnya yang berliku dan telah memelihara keyakinannya hingga akhir hayat.
Aku mencium ulos peninggalan mamak, tampak noda-noda yang sudah menghitam, bercak-bercak darah ku yang dulu. Aku merasakan kehangatan kasih sayang mamak di ulos tersebut. Kini tubuh mamak sudah menyatu dengan bumi, dan akan melebur menjadi debu tanah, sebagaimana dulu manusia diciptakan dari debu tanah, maka akan kembali ke tanah. Meskipun demikian mamak tetap hidup di dalam hati dan kenangan ku.***
*Semarang, 25 April 2014
Glosarium:
- Mamak = ibu
- Ulos = kain tenun khas suku Batak
- Tokke = tauke, juragan, pengepul
- Godung = lobang (biasanya untuk memburu babi hutan atau rusa)
- Bibel = Alkitab
- Anggi = Adik
- Saurmatua = Mencapai usia lanjut (Dalam adat Batak, orang yang meninggal dunia dalam usia lanjut, dan semua anaknya sudah berkeluarga disebut Saurmatua)
Tinggalkan Balasan ke The Stress Lawyer Batalkan balasan